Oleh: Nurakhmad
Abstrak
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia diperparah dengan maraknya lembaga pertelevisian yang terus bertambah dengan iming-iming acara yang menyedot konsentrasi dan bahkan menjadi sarana hiburan paling favorit karena murah dan tidak perlu harus ke luar rumah. Salah satu acara yang menyedot konsentrasi penonton adalah sinetron baik domistik maupun impor. Sinetron yang ditayangkan stasiun televisi memang banyak yang bermutu dan menonjolkan tema edukatif. Namun juga tidak sedikit sinetron yang dikemas dengan harapan mampu mendongkrak rating penonton dan bahkan menafikan fungsi edukatif. Sisi bisnis tentu saja menjadi pertimbangan yang dominan. Kalu sudah begini sikap kritis dan apresiatif pemirsa perlu di bangun. Komitmen idealisme dan integritas yang tinggi terhadap tata nilai dan norma kehidupan berbangsa dan bernegara harus dipertahankan dan dijunjung tinggi. Jati diri bangsa jangan dirusak sendiri oleh segelintir orang yang demi finansial tega mengeksploitasi sisi-sisi minor kehidupan masyarakat demi keuntungan sesaat.
Kata kunci: SINETRON, EKSPLOITASI, EDUKASI.
PENDAHULUAN
Dahulu, dunia ini ini sangat luas dan banyak tempat yang sulit dijangkau. Tetapi berkat kecanggihan IPTEK, tidak ada lagi sesuatu yang sudah ada di dunia ini yang tidak terjangkau. Bukan hanya yang bersifat fisik namun dunia maya dapat diakses melalui situs-situs internet dan website. Itulah kemajuan di bidang Informasi dan Telekomunikasi ( I T ) yang sudah merambah ke seluruh penjuru dunia dengan memanfaatkan teknologi satelit komunikasi.
Perangkat IT juga berkembang demikian pesatnya, mulai dari TV, Telepon mobil (HP), Komputer dengan fasilitas hardware dan shoftware yang laju perkembangannya seperti anak panah yang sedang melesat dari busurnya. Salah satu perangkat IT yang paling memasyarakat adalah televisi. Hampir dipastikan setiap rumah ada televisinya. Durasi pemakaian hampir sama dengan durasi jaga penghuni rumah.
Media televisi merupakan media yang efektif dalam bidang IT. Informasi yang disampaikan dalam bentuk komunikasi searah. Tentunya semua sependapat dalam hal ini. Namun, sebagai masyarakat pemirsa, adakah hak penolakan atas mata acara, waktu, teknik , materi, dan pelaku penayangan. Misalnya, penayangan sinetron yang memiliki rating tinggi jastru pada saat sholat atau jam-jam belajar; atau sinetron yang tema dan amanatnya tidak sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada umumnya; dan sejumlah kekurangan tayangan di TV yang memiliki dampak negatif bagi kehidupan masyarakat.
Dalam makalah ini akan disajikan tentang sinetron Indonesia menurut sudut pandang pemirsa, bagaimana dalam menyikapi sinetron-sinetron tersebut dari sisi pendidikan kepada masyarakat pemirsa dan sisi bisnis pertelevisian yang secara sengaja atau tidak telah mengeksploitasi nilai-nilai kehidupan, serta segala bentuk penderitaan dan keterbelakangan masyarakat secara fisik maupun psikologis menjadi bahan baku pembuatan skenario sinetron tanpa memperhatikan dampaknya bagi masyarakat pemirsa.
Tentunya masyarakat pemirsa harus memiliki sikap kritis dalam menyikapi sinetron domestik maupun mancanegara. Sikap tersebut sangat penting karena dampak dari sinetron tersebut dapat mengubah pola pikir, sikap dan tindakan serta pilar-pilar nilai budaya bangsa yang agamis dan ber- BHINEKA TUNGGAL IKA.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, masukan kritik dan saran untuk perbaikan dari mereka yang peduli adalah informasi yang tak ternilai bagi kami. Harapan terakhir terbentuknya pola sikap, pola pikir, dan pola tindak yang logis, kritis dan apresiatif terhadap sinetron Indonesia yang dapat dinikmati dalam tayangan pertelevisian di Indonesia.
BAGIAN INTI
Potret Sinetron Indonesia
Sinetron adalah akronim dari sinema elektronik. Yaitu drama yang disajikan melalui media elektronik televisi. Ada pula yang menyebut film layar kaca. Pengertian drama sebenarnya termasuk karya sastra berupa teks atau naskah atau skenario yang diperankan atau dipanggungkan. Dalam memerankan drama dapat berupa panggung, film, sinetron.
Pada dekade tujuh puluh dan delapan puluhan kita mengenal hiburan drama melalui film layar lebar atau bioskop. Kita mengenal bintang-bintang film, sutradara-sutradara terkenal langganan peraih oskar sebagai simbol prestasi di bidang perfilman Indonesia. Sejumlah nama sutradara terkenal seperti, Nyak Abbas Akup, Arifin C.Noer, Sukarno, M. Noer, Putu Mijaya, Eros Djarot serta sejumlah bintang film seperti Sopan Sofyan, Widyawati, Nurul Arifin, WD Moechtar, Deddy Miswar, Deddy Petet, Christin Hakim, Rano Karno serta sejumlah nama lain yang barang kali nama-nama mereka masih melekat di hati penggemarnya saat itu sampai sekarang.
Akan tetapi saat ini, semenjak dekade sembilan puluhan, sejalan dengan perkembangan pertelevisian yang tidak lagi didominasi oleh TVRI, sajian film layar lebar mulai ditinggalkan dan beralih pada televisi yang lebih dikenal dengan istilah sinetron.
Jika seseorang ingin menyaksikan film layar lebar seseorang harus pergi ke gedung bioskop dengan membeli tiket yang harganya tidak setiap orang mampu membelinya, maka dengan sinetron seseorang yang ingin menyaksikan sajian drama cukap memutar televisi di rumahnya atau di rumah tetangga, bahkan bisa berganti channel kapanpun mereka suka, tanpa harus pergi ke gedung bioskop dan merogoh saku untuk membeli tiket.
Lebih hebatnya lagi, rupanya pihak manajemen pertelevisian membaca peluang ini sebagai tambang emas bisnis entertainmen dengan pangsa pasar lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Stasiun televisi berlomba merebut pangsa pasar ini dengan sajian-sajian acara dan hiburan yang menarik seperti hiburan, sosial, politik, ekonomi, budaya dan bahkan agama serta ritualnya dijadikan barang komodite, untuk media menggaet para pengusaha produk jasa dan produk barang konsumtif memasangkan iklannya di televisi yang mereka kelola.
Dari sisi bisnis dan profit, hal tersebut syah-syah saja. Pola bisnis yang mereka jalankan sudah barang tentu mengikuti aturan dan prosedur yang sejalan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Namun dalam hal ini yang perlu diwaspadai adalah masyarakat pemirsa yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa. Yang sebagian besar menyaksikan tayangan televisi setiap harinya. Mereka memiliki karakteristik dan tingkat kemampuan yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan tempat mereka tinggal serta tingkat pendidikan dan strata sosial dan ekonomi yang berbeda pula. Masyarakat pemirsa memang majemuk.
Ada kecenderungan masyarakat saat ini lebih menyukai sesuatu yang instan.Misalnya, seseorang yang sedang kena demam dan sakit kepala, ingin sembuh saat itu juga sekejap setelah ia meminum obat. Para pelajar ingin lulus ujian dengan nilai bagus tanpa harus belajar keras. Mereka melakukan demonstrasi ketia ternyata pengawas ujian terlalu ketat dalam mengawasi pelaksanaan Ujian Nasional, menolak pelaksanaan Ujian Nasional, melakukan perusakan karena tidak lulus atau tidak naik kelas. Perilaku-perilaku agresif yang mengarah pada anarkhisme cenderung lebih menonjol dari pada sikap santun dan instropektif. Contoh lainnya adalah para pelajar yang memandang sekolah hanya sebagai trend, karena sangat tidak pantas jika usia sekolah akan tetapi tidak bersekolah. Tetapi apa yang terjadi, mereka tidak memiliki peralatan dan sumber belajar yang memadai untuk kepentingan sekolahnya. Akan tetapi, assesoris anak sekolah lengkap. Mereka bersekolah membawa motor, HP dengan tipe terkini mereka miliki. Waktu di luar sekolah tidak mereka gunakan untuk belajar, tetapi untuk kegiatan yang kadang-kadang tidak perlu.
Jika kita memiliki sikap peduli, pertanyaan kritis yang perlu kita lontarkan adalah Apakah sikap instan masyarakat ini akibat terlalu banyak menonton iklan di televisi? Apakah mereka meniru para pelaku sinetron remaja di televisi? Ataukah suasana sekolah yang membosankan karena gurunya kurang profesional dalam melaksanakan tugasnya? Serta sejumlah pertanyaan terserah dari sudut pandang mana kita memandang. Yang jelas, kepedulian terhadap mereka perlu kita tingkatkan.
Sesuai dengan topik bahasan, tulisan ini membatasi masalah pada pertanyaan yang pertama dan kedua yaitu: Apakah sikap instan masyarakat ini akibat terlalu banyak menonton iklan di televisi? Apakah mereka meniru para pelaku sinetron remaja di televisi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut alangkah baiknya jika saya berikan beberapa contoh sajian di televisi. Misalnya, tayangan iklan. Bintang iklan pada umumnya dipilih tokoh-tokoh yang secara fisik memiliki kelebihan. Materi iklan pada umumnya adalah benda-benda konsumtif, skenario, bahasa dan naskah iklan cenderung instan dan tentunya akan berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat pemirsa.
Setiap orang tidak ingin hidupnya mengalami kesusahan. Yang mereka inginkan dan selalu mereka saksikan pada iklan di televisi adalah kehidupan yang senang. Jika sakit setelah diobati dalam sekejap pasti sembuh. Jika mengalami kesulitan belajar dengan minum vitamin, minum susu produk pabrikan dalam sekejab dengan serta merta menjadi cerdas dan juara kelas. Jika menggunakan pasta gigi sepanjang bulu sikat gigi, kelihatannya sederhana dan sepele. Akan tetapi, secara tidak disadari menanamkan sikap hidup yang boros. Iklan produk makanan, camilan, selalu menmpilkan jenis makanan produk pabrikan. Anak kecil tentunya lebih memilih membeli makanan tersebut dari pada makanan dari ubi atau singkong yang jelas-jelas tanpa efek samping dan harganya murah.
Temuan-temuan contoh di atas, tentunya belum lengkap, namun cukup memberi gambaran tentang efek sosial dan efek psikologis bagi pemirsa televisi, terutama pada anak-anak dan remaja yang sedang mencari jati diri kehidupannya.
Membahas masalah sinetron, sudah semestinya kita menganalisis unsur intrisik sinetron tersebut yang meliputi tema cerita, amanat, penokohan, konflik, alur, latar, dialog/bahasa yang membangun karya sastra drama tersebut.
Sinetron yang ditayangkan di televisi memang banyak yang memiliki garapan yang berkualitas, misalnya , Kiamat Sudah Dekat, yang dibintangi Dedy Miswar. Ada tokoh kecil Kipli dan Sapro. Sinetron ini digarap dengan penuh adegan-adegan dan alur yang membuat pemirsa tertawa. Akan tetapi, pesan moral dan religi sangat kental dalam sinetron ini.
Sinetron Si Entong, yang menceritakan kehidupan santri-santri kecil murid ustadz yang dibintangi Adi Bing Slamet. Sinetron ini juga tergolong drama komedi, namun pesan moral dan religi sangat bagus untuk anak-anak. Meskipun banyak adegan-adegan yang tidak masuk akal dan terkesan mengada-ada karena sulit ditemukan dalam kehidupan nyata.
Sinetron remaja yang ditayangkan oleh RCTI seperti, Intan, Cindy, Soleha, Cahaya tyergolong sinetron yang mempunyai kualitas penggarapan yang bagus ditilik dari unsur-unsur instrinsik drama. Pesan moral dari sinetron-sinetron ini angat bagus.
Rasanya memang kurang adil jika kita menilai keunggulan sinetron dari unsur tema dan amanat saja karena unsur-unsur yang lain memang tidak kalah pentingnya. Unsur-unsur itu adalah bahan baku yang memang wajib adanya. Akan tetapi sesuai dengan topik bahasan di atas, bahwa yang akan tercatat pada hati pemirsa adalah pesan moral dari sinetron tersebut. Pesan moral akan memberikan kontribusi bagi perkembangan kepribadian seseorang mencaopai kedewasaan.
Terkadang kita temui juga sinetron yang kurang baik untuk ditayangkan atau tidak layak tayang. Sebagai contoh sinetron anak-anak yang ceritanya diangkat dari cerita-cerita daerah, Jawa misalnya. Seorang anak yatim yang hidupnya mengalami kesusahan dan penderitaan karena disia-siakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Pada puncak penderitaan tiba-tiba ada keajaiban-keajaiban yang dapat membebaskan anak tersebut dari segala penderitaan. Kedatangan bidadari yang membawa azimat, atau benda-benda yang dapat dimintai pertolongan, kedatangan Jin yang baik, sehingga dengan serta merta dapat mengatasi penderitaan tersebut dalam waktu sekejab.
Dari sisi pesan moral ada baiknya misalnya ketabahan dalam menjalani penderitaan hidup, kesabaran, kepatuhan, kedisiplinan dan sebagainya. Akan tetapi, alur cerita yang ada yang tidak wajar. Terjadi perubahan frontal dari hidup menderita ke hidup yang penuh kebahagiaan karena mendapatkan mu’jizat, bukan dari upaya sang tokoh berusaha sendiri melepaskan diri dari tirani yang diciptakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya itu. Contoh lain, seorang pendekar yang selalu kalah, tiba-tiba menjadi demikian perkasa dan tidak terkalahkan karena memiliki senjata ampuh pemberian dari pihak tertentu. Apabila senjata andalan tersebut hilang maka pendekar tersebut tidak akan bisa berbuat banyak. Efek negatif secara psikologis bagi pemirsa dari cerita sinetron smacam ini adalah kemalasan dan mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin.
Seharusnya disajikan cerita tentang orang-orang yang sukses karena dari upayanya sendiri dengan bekerja keras, belajar giat, mendekatkan diri pada Tuhan, ulet tidak mudah putus asa menghadapi sejumlah tantangan dan kesulitan hidup sampai berhasil dan mendapatkan apa yang diharapkan.
Memang dari alur cerita tidak ada keajaiban-keajaiban yang spektakuler. Akan tetapi, pesan moral cerita dikemas secara wajar dan dapat diterima akal. Kenyataan dalam keseharian sangat jarang terjadi pola-pola kehidupan yang ajaib-ajaib yang pada dasarnya akan mengotori perkembangan jiwa. Menjadikan seseorang mengharap keajaiban yang dapat mengubah hidupnya tanpa harus bekerja atau belajar yang giat. Misalnya, mimpi mendapat hadiah dari togel dengan jumlah sekian kali lipat dari modal yang dipertaruhkan. Mendapatkan nilai bagus dari hasil ujian tanpa harus belajar giat untuk menguasai materi yang diujikan karena mendapat bantuan dari orang lain ketika mengerjakan soal-soal ujian atau mendapat bocoran soal. Memperoleh gelar kesarjanaan dengan membayar sejumlah uang.
Pola-pola jalan pintas semacam ini telah menjadi rahasia umum yang tepelihara secara rapi hampir di seluruh segi kehidupan berbangsa dan bernegara . Integritas moral dan idealisme menjaga tata nilai dan norma-norma kehidupan keseharian ibarat mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami. Mereka yang memiliki kompetensi dan komitmen terhadap integritas moral dan idealisme seakan terlindas dan tersingkirkan.
Antara Eksploitasi dan Edukasi
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab I Pasal 1 ayat 1 bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya pada ayat 2 disampaikan bahwa Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dua ayat tersebut mencerminkan idealisme dalam menjujung tinggi integritas moral warga negara dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Sajian contoh kasus-kasus tayangan sinetron seperti yang dideskripsikan pada uraian di atas adalah bertentangan dengan komitmen terhadap idealisme Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tayangan sinetron yang dapat merusak integritas moral sama saja dengan tindakan menentang dasar negara dan undang-undang . hal ini sama saja dengan tindakan makar secara halus. Dampak yang ditimbulkan adalah tererosinya moral bangsa dalam jangka yang sangat panjang dan bahkan akan menjadi kronis endemik yang sulit dicari obat penawarnya.
Beban berat justru ada pada dunia pendidikan, di satu sisi harus menjalankan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan, di sisi lain harus menghadapi sepak terjang lembaga-lembaga bisnis yang lebih dominan mengedepankan aspek profit lembaga atau perusahaan dan sedikit sekali menjaga keutuhan dan membina moral bangsa dan negara.
Lembaga pertelevisian misalnya dengan tayangan sinetron yang kurang memiliki kualitas ditinjau dari tema yang di angkat dan amanat yang akan disampaikan pada masyarakat pemirsa. Terbukti masih jarang televisi yang menayangkan sinetron bertema pendidikan, ketekunan pelajar, keuletan guru dalam membimbing anak didiknya, kepatuhan seorang siswa pada orang tua dan guru-gurunya dan sebagainya. Tema -tema semacam ini jika digarap dengan benar akan mengangkat rating pemirsa dalam lembaga pertelevisian. Ataukah sastrawan Indonesia belum ada yang mampu menggarap tema-tema seperti itu? Atau pihak lembaga pertelevisian yang tidak mau menayangkan karena dianggap tidak memiliki nilai jual dipandang dari sisi bisnis dan profit perusahaan? Ataukah mereka menganggap bahwa moral bangsa adalah tanggung jawab dari departemen pendidikan saja. Padahal, tanggung jawab pendidikan adalah ada pada pemerintah orang tua dan masyarakat.
Dari sini tampak adanya ketimpangan dari orientasi visi dan misi pertelevisian. Aspek bisnis tentunya lebih di kedepankan dari pada aspek yang lain seperti akhlaq mulia, moral bangsa , pendidikan, serta tata nilai yang dalam kesehariannya seharusnya dijunjung tinggi-tinggi.
Ada sinetron yang mengangkat kehidupan anak sekolah, tetapi tema yang diangkat sebagian besar adalah cinta kasih remaja. Kisah cinta sepasang pemuda dengan latar kehidupan di sekolah. Hal ini sungguh memprihatinkan karena para pelajar hanya akan meniru gaya dan pola kehidupan para tokoh ketika memerankan suatu adegan dalam sinetron tersebut. Coba seandainya ada serial sinetron yang menceritakan keberhasilan seorang pelajar mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi; dan pada akhir cerita si tokoh menjadi orang yang profesional seperti sinetron Si Doel Anak Sekolahan; yang memiliki rating bagus pada waktu itu. Tentunya sinetron semacam itu akan memberikan kontribusi terhadap pembinaan moral bangsa. Pantas saja kalau Rano Karno, pemeran Si Doel mendapat kepercayaan PBB menjadi duta besar Unicef untuk Indonesia.
Kekhawatiran lainnya adalah sinetron yang cenderung mengeksploitasi sisi-sisi minor yang ada dalam kehidupan.Misalnya, ibu tiri yang kejam, penelantaran anak-anak yatim, bapak yang tidak bertanggung jawab, kesulitan ekonomi orang-orang pinggiran dan pegawai rendah, orang kaya yang sombong dan sebagainya. Kemudian sinotron tersebut ditonton sepenggal-sepenggal pada adegan-adegan di mana tokoh protagonis sedang berada dalam ketidakberdayaan menghadapi tokoh antagonis. Tentu hal ini secara psikologis akan berpengaruh pada kehidupan para pemirsa yang memiliki nasib analog dengan sang tokoh.
Atau, bisa juga cap pada ibu tiri yang kejam, anak yatim pasti terlantar, orang pinggiran pasti hidup susah akan tumbuh subur. Dengan kata lain hal ini justru akan menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat.
Mencerdaskan Masyarakat Pemirsa
Uraian di atas cukup memberikan gambaran bagi kita bahwa ada perbedaan orientasi antara sinetron yang ditayangkan melalui stasiun-stasiun televisi dengan keingginan para pelaku dan pemerhati pendidikan dalam menyikapi masyarakat pemirsa. Hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri. Namun, tentunya ada solusi yang barang kali walaupun tidak dapat memberikan jawaban dengan tingkat kebenaran seratus persen, setidaknya dapat memperkecil dampak penayangan sinetron yang kurang bermutu.
Alternatif yang dapat ditawarkan antara lain mencerdaskan masyarakat agar memiliki sikap kritis dan apresiatif terhadap sinetron yang ditontonnya. Sikap kritis tersebut antara lain bahwa watak tokoh, perilaku tokoh, sikap tokoh, ucapan tokoh dalam sinetron adalah sikap pura-pura, tidak sungguh-sungguh, tetapi hanya mengikuti atau memerankan apa yang tertulis dalam skenario. Jika mereka dapat berakting dengan baik dan sempurna justru pemirsa dapat memberikan apresiasi bahwa pemeran tersebut memang seorang aktor atau aktris yang patut mendapat penghargaan sebagai seniman hebat dalam seni peran.
Mendampingi anak-anak ketika menonton televisi sangat penting. Dalam hal ini orang tua akan menjadi badan sensor apakah tayangan tersebut layak ditonton atau tidak. Orang tua juga dapat berperan meluruskan suatu adegan yang mungkin memberi dampak negatif terhadap perkembangan psikologis anak-anaknya.
Memberikan pemahaman tentang persinetronan kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Hal ini akan menambah wawasan yang lebih holistik terhadap sinetron secara utuh. Bahkan bagi mereka yang berbakat justru akan menjadi referensi dalam memperdalam bidang tersebut mencapai profesionalisme.
Lembaga pertelevisian hendaknya lebih banyak menayangkan sinetron yang kental dengan pesan moral dan menonjolkan tata nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara. Sinetron yang lebih membumi Indonesia, dengan mengangkat keunggulan –keunggulan global yang bersumber dari khazanah sosial budaya Indonesia. Fungsi edukasi hendaknya lebih ditonjolkan dari pada fungsi-fungsi yang lain.
Badan sensor yang memiliki kewenangan sudah seharusnya melaksanakan fungsinya secara profesional dan memegang teguh kode etik yang telah ditetapkan.
Menerbitkan buku sastra sebagai pendamping dari judul sinetron, akan memberikan alternatif kepada masyarakat dalam memberikan apresiasi terhadap suatu karya. Di samping itu, akan meningkatkan komunitas masyarakat pembaca. Sehingga hasil survey BPS tahun 1990 yang mendapati perbandingan masyarakat pemirsa TV 64 %, dan mayarakat pembaca 21 %, Padahal stasiun TV ketika itu tidak sebanyak sekarang. Dapat dibayangkan lonjakan pemirsa saat ini.
PENUTUP
Ulasan di atas barang kali amat subyektif, menurut cara pandang penulis. Namun dengan diseminarkannya tulisan ini penulis berharap ada masukan berupa kritik dan saran sebagai tambahan referensi bagi penulis dan bagi siapa saja yang peduli terhadap masa depan bangsa dan negara.
Banyuwangi, 15 Januari 2008
Nurakhmad
Penulis adalah guru Bahasa Indonesia
SMP Kosgoro Sragi